ummuhanin
Bulan Februari sepertinya menjadi istimewa bagi sebagian orang. Kalau ada yang nanya, apa istimewanya, jawabannya pasti karena angka 14. 
Ya, tanggal 14 disebut-sebut sebagai hari Valentine. Sebenarnya apa sih Valentine? 
Kenapa hampir semua orang sibuk “berkasih sayang” pada hari itu? 
Kenapa juga ada cokelat, surat cinta, dan ucapan “Be My Valentine?” dari seseorang kepada orang lain yang mungkin dianggap spesial? 
Apakah memang hal tersebut ada dasarnya? 
Atau cuma ikut-ikutan dan ngga tau makna sebenarnya? 

Hmmm.... penasaran??... yuk simak baik-baik uraian berikut.

  Sejarah Valentine

Valentine’s Day sebenarnya, bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor kuffar. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?

Ensiklopedia Katolik menyebutkan tiga versi tentang Valentine, tetapi versi terkenal adalah kisah Pendeta St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius II menghukum mati St.Valentine yang telah menentang beberapa perintahnya.
Claudius II melihat St.Valentine mengajak manusia kepada agama Nashrani lalu dia memerintahkan untuk menangkapnya.

Dalam versi kedua, Claudius II memandang para bujangan lebih tabah dalam berperang daripada mereka yang telah menikah yang sejak semula menolak untuk pergi berperang. Maka dia mengeluarkan perintah yang melarang pernikahan. Tetapi St.Valentine menentang perintah ini dan terus mengadakan pernikahan di gereja dengan sembunyi-sembunyi sampai akhirnya diketahui lalu dipenjarakan. Dalam penjara dia berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum mati, dia mengirim sebuah kartu yang bertuliskan “Dari yang tulus cintanya, Valentine.” Hal itu terjadi setelah anak tersebut memeluk agama Nashrani bersama 46 kerabatnya.
Versi ketiga menyebutkan ketika agama Nashrani tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi itu para pemuda desa selalu berkumpul setiap pertengahan bulan Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam sebuah kotak, lalu setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut, dan gadis yang namanya keluar akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan ” dengan nama tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini.” Akibat sulitnya menghilangkan tradisi Romawi ini, para pendeta memutuskan mengganti kalimat “dengan nama tuhan Ibu” dengan kalimat ” dengan nama Pendeta Valentine” sehingga dapat mengikat para pemuda tersebut dengan agama Nashrani.

Versi lain mengatakan St.Valentine ditanya tentang Atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar dan pencurian, dan Jupiter, tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka dia menjawab tuhan-tuhan tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah Isa Al Masih, oleh karenanya ia dihukum mati. Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dzalim tersebut.

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The World Book Encyclopedia, 1998).

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut Syirik, yang artinya menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan saat ini beredar kartu-kartu perayaan keagamaan ini dengan gambar anak kecil yang disebut cupid (berarti: the desire), yaitu si bayi bersayap putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari dengan dua sayap terbang sambil mengarahkan anak panah ke gambar hati yang sebenarnya itu merupakan lambang tuhan cinta bagi orang-orang Romawi. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri!!

 Hukum Valentine

Tidak selayaknya bagi kita kaum muslimin meniru ritual agama lain yang tidak ada dasarnya dalam Islam. Allah telah menjelaskan dalam Al Qur’an,
 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabannya” (Al Isra’ : 36).

Sebelum kita terjerumus pada budaya yang dapat menyebabkan kita tergelincir kepada kemaksiatan maupun penyesalan, kita tahu bahwa acara itu jelas berasal dari kaum kafir yang akidahnya berbeda dengan ummat Islam, sedangkan Rasulullah bersabda:  
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radiyallahu ‘anhu : Rasulullah bersabda: "Kamu akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang kamu maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Rasulullah bersabda: Kalau bukan mereka, siapa lagi?" ( HR. Bukhori dan Muslim ).

Sebagian orang merayakan Yaum Al-Hubb (Hari Kasih Sayang) pada tanggal 14 Februari [bulan kedua pada kalender Gregorian kristen / Masehi] setiap tahun, diantaranya dengan saling-menghadiahi bunga mawar merah. Mereka juga berdandan dengan pakaian merah , merah jambu.

Beberapa toko-toko memproduksi manisan khusus - berwarna merah- dan yang menggambarkan simbol hati/jantung ketika itu. Toko-tokopun tersebut mengiklankan yang barang-barang mereka secara khusus dikaitkan dengan hari ini. Bagaimana pandangan syariah Islam mengenai hal berikut :
  1. Merayakan hari valentine ini ?
  2. Melakukan transaksi pembelian pada hari valentine ini?
  3. Transaksi penjualan – sementara pemilik toko tidak merayakannya – dalam berbagai hal yang dapat digunakan sebagai hadiah bagi yang sedang merayakan?
Bukti yang jelas terang dari Al Qur’an dan Sunnah - dan ini adalah yang disepakati oleh konsensus ( Ijma’) dari ummah generasi awal muslim - menunjukkan bahwa ada hanya dua macam Ied (hari Raya) dalam Islam: ‘ Ied Al-Fitr (setelah puasa Ramadhan) dan ‘ Ied Al-Adha (setelah hari ‘ Arafah untuk berziarah).

Maka seluruh Ied yang lainnya - apakah itu adalah buatan seseorang, kelompok, peristiwa atau even lain – yang diperkenalkan sebagai hari Raya / ‘Ied, tidaklah diperkenankan bagi muslimin untuk mengambil bagian didalamnya, termasuk mengadakan acara yang menunjukkan sukarianya pada even tersebut, atau membantu didalamnya – apapun bentuknya – sebab hal ini telah melampaui batas-batas syari’ah Allah (yang artinya): "Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri." [ Surah At-Thalaq ayat 1]

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga mengingatkan, Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. At-Tirmidzi).

Kalau Allah dan RasulNya sudah berkata tidak untuk sesuatu, maka haram bagi kita untuk mengikuti sesuatu itu. Jangankan mengikuti, mendekatinya pun tidak boleh.

 Kalau memberi ucapan selamat?

Itu sama aja tidak boleh. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya!” dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Karena berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh.”

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan dalam fatwanya bahwa merayakan hari Valentine itu tidak boleh karena:
Pertama, ia merupakan hari raya bid’ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari’at Islam.
Kedua, ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka.

Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan.
Merupakan kewajiban bagi tiap-tiap muslim untuk memegang teguh atas Al Qur’an dan Sunnah dalam seluruh kondisi - terutama saat terjadi rayuan dan godaan kejelekan. Maka semoga dia memahami dan sadar dari akibat turutnya dia dalam barisan sesat tersebut yang Allah murka padanya (Yahudi) dan atas mereka yang tersesat (Kristen), serta orang-orang yang mengikuti hawa nafsu diantara mereka, yang tidak punya rasa takut - maupun harapan dan pahala - dari Allah, dan atas siapa-siapa yang memberi perhatian sama sekali atas Islam.

Maka hal ini sangat penting bagi muslim untuk bersegera kembali ke jalan Allah, yang Maha Tinggi, mengharap dan memohon Hidayah Nya (Bimbingan) dan Tsabbat (Keteguhan) atas jalanNya. Dan sungguh, tidak ada pemberi petunjuk kecuali Alloh, dan tak seorangpun yang dapat menganugrahkan keteguhan kecuali dariNya.

Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa
Ketua : Syaikh ‘ Abdul ‘ Aziz Al Asy-Syaikh;
Wakil Ketua : Syaikh Saalih ibn Fauzaan;
Anggota: Syaikh ‘ Abdullaah ibn Ghudayyaan;

Anggota: Syaikh Bakar Ibn ‘ Abdullaah Abu Zaid

Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah lil-Buhuts al-’Ilmiyyah Wal-Iftaa.- Fatwa Nomor 21203.
Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia
http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0020123_1.htm
Judul Asli: Hari Kasih atau Valentine dalam Tinjauan Syariat
Sumber: www.darussalaf.org
ummuhanin
”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59)

Di belahan bumi sana, seorang ikhwan bercerita. Setelah beberapa lama menikah-alhamadulillah- istri bersedia, rela melaksanakan Islam secara kaffah (sempurna). Hingga cadar pun dengan penuh keikhlasan dipancangkan kuat-kuat untuk menangkis serangan-serangan mata jelalatan pria yang hatinya berpenyakitan. Pengaman sekaligus kemuliaan bahwa dirinya seorang muslimah tangguh memegang prinsip diennya.
Tiba saatnya mertua minta dijenguk, rindu katanya. ”Ongkos gampang, nanti ada gantinya” Rayu sang mertua. Semgangat pun membara menjenguk mertua.
Tak disangka sesampainya di sana. Para tetangga menyambut dengan cibiran mulut dan kedipan mata. ”Kok isterinya sudah kayak ninja, aliran apa ya?” mulanya datar. Waktu berlalu, ternyata banyak orang yang tak mampu menyembunyikan kebencian. Syetan pun mulai menyuntikkan racunnya kepada ular-ular peliharaannya yang berbentuk manusia.
Mertua mendapat desakan agar putrinya melepas cadarnya, syi’ar Islam yang harus dijaga. Sang putri yang hatinya telah tersinari cahaya Ilahi jelas tak bersedia. Namun terus dipaksa, selanjutnya air mata yang bicara, dan begitulah wanita.
Sang ikhwan tiba di rumah, terkejut melihat cuaca yang telah berbuah. Awan mendung menyelimuti mata isterinya. Ada apa? Dalam tangis panjang, sang isteri menceritakan kepiluannya. Terkejut bukan main sang ikhwan. Perdebatan sengit tak lagi tertahankan, antara menantu dan mertua. Ia dituduh memiliki agama yang berbeda, ajaran yang tidak sama, Al-Qur’annya pun dianggap juga. Ia divonis sesat oleh sang mertua, dengan alasan tidak ada orang ”pribumi” yang melakukannya. Lebih baik mengikuti kebanyakan orang, pintanya.
Sang ikhwan jelas tak bisa meneken kontrak keinginan mertua. Karena sudah perintah dari Robb yang Maha Kuasa. Akhirnya, debat panjang yang tak berselesaian berujung pada ancaman. Tak berhak mendapat ganti uang perjalanan, tak berhak dapat warisan, dan sederet ancaman mengerikan lainnya. ”Karena kamu sesat” Kata mertua.

Sang ikhwan menggelengkan kepala, hanya bisa pasrah kepada yang Maha Kuasa. Hanya, ia selalu merasa heran dengan unek-unek yang tak tertahankan, ”Kenapa mereka tidak mau membaca catatan kaki (QS. Al-Ahzab (33): 59) terbitan DEPAG.
Padahal, mereka semua mengakui, bila para penerjemah dari Departeman Agama itu sebagai para ulama yang selalu menjadi dalil bagi mereka.”Di sana tertulis dengan sangat jelas: ”Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.”
Adakah orang-orang yang menghendaki kebenaran akan menutupi kejujuran hatinya?

Gerimis edisi 4 Tahun ke-2 2007


ummuhanin
“Dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan sebagai surga bagi orang kafir.”
(HR. Muslim)

Dunia adalah penjara.. benarkah? Mari kita cermati. Gunakan cara pandang berbeda. Koleksi kreasi bangun percaya diri. Seperti kisah di bawah ini.
Laki-laki itu seorang ulama di zamannya. Pengarang kitab yang amat terkenal, Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhari. Siapa dia? Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.

Suatu hari sebagai qadhi, ia berkendara dengan keledai yang bagus. Pakaiannya bagus. Performanya meyakinkan. Saat melintas di sebuah pasar, tiba-tiba seorang Yahudi pedagang minyak menghadang. Memegang tali kekang keledai sang Imam, seraya berkata, “Ya Syaikhul Islam, Anda menyatakan bahwa Nabimu bersabda, ‘Dunia itu penjara bagi orang-orang beriman, dan surganya orang kafir.’ Dengan penampilan Anda yang seperti ini, Anda dipenjara seperti apa? Dan dengan keadaan saya yang begini ini, saya berada surga seperti apa?”
Ibnu Hajar menjawab, dengan kondisi seperti ini, saya dibanding dengan kenikmatan yang Allah janjikan di akhirat, seolah dalam penjara. Engkau dengan kondisimu seperti itu, dibandingkan dengan siksa dan hukuman yang Allah ancamkan di akhirat nanti sekarang berada di dalam surga.
Luar biasa! Mendengar jawaban tersebut , Yahudi spontan menyatakan masuk Islam. Sehebat apapun orang mukmin di dunia, ia masih berada dalam ‘penjara keterbatasan’. Segembel apapun orang kafir, mereka masih di surga, sebab masih ada neraka menyala menanti mereka.

Berpikirlah merdeka. Jadikan pesona dunia sebagai inspirasi surga, seperti Imam Ibnu Hajar. Merdeka, jangan penjarakan dirimu dalam jeruji maksiat.
Wahai pengembara di penjara dunia, jadilah orang asing, pelancong. Nikmati wisata dunia sekedarnya. Kita pasti kembali.
“Jadilah engkau di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang dalam perjalanan.” Ibnu Umar berkata, “Jika engkau berada di waktu sore, maka jangalah mengharapkan akan hidup di waktu pagi. Dan jika kamu pada waktu pagi, maka janganlah menantikan waktu sore. Pergunakanlah masa sehat itu untuk bekal masa sakit, dan masa hidup untuk bekal kematian.” (HR. Bukhari)
Waktu di dunia ini adalah sama dengan waktu di sekolah. Ia sama dengan kampus kehidupan, ‘University of life’. Afghanistan, Irak, Palestina, Chechnya adalah universitas jihad. Para alumninya kini berbahagia di surga, insyallah. Pasar adalah kampus kejujuran. Kantor sebagai kampus pelayanan. Jalanan kampus pengendalian diri.
Pemukiman kumuh kampus kepedulian. Di mana masing-masing tempat memiliki ujian-ujian, maka pekalah dengan waktu yang disediakan. Manfaatkan untuk investasi abadi, amal shalih.

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)

Dan ujian itu bukan mustahil. Ia bisa ditempuh, asal sungguh-sungguh. Bila ujian itu mustahil tentu tidak berguna, tidak bisa untuk membedakan antara prestasi dan frustasi. Padahal Allah berfirman,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah: 286)

Menurut Sayyid Quthub, ujian adalah tanggung jawab pribadi yang mesti diemban. Ujian adalah pembangkit himmah atau hasrat dan semangat untuk membentuk manusia menjadi pribadi utuh dan positif. Manusia adalah manusia bukan malaikat bukan pula hewan atau setan. Manusia adalah makhluk mulia, karena Allah memuliakan dan menyempurnakan ciptaanNya. Ia lebih mulia daripada malaikat, sebab diberi akal untuk bersyukur dengan menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hatinya. Namun ia bisa jatuh terhina seperti hewan ternak bahkan lebih sesat lagi, bisa menjadi setan durjana terlaknat karena akal pikirannya tak bermanfaat.
Bagi orang mukmin, telah dijadikan mudah penjara dunia ini untuk dilewatinya. Mereka yakin, mereka mengembalikan ujian-ujian yang dihadapi kepada yang memberikannya. Dan kelak hanya kepadaNyalah mereka dikembalikan. Mereka yakin akan kembali kepada Allah .

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepadaNyalah kalian (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. al-Mulk: 15)  wallahu a’lam

Sumber: The Way to Win (Solikhin Abu Izzuddin)
Labels: 0 comments | | edit post
ummuhanin
  Sebuah renungan bagi wanita dalam mengendalikan rasa cemburu.....




Perasaan cemburu adalah ketidaksukaan bergabungnya orang lain pada haknya.Sesungguhnya perasaan cemburu adalah tabiat yang alami. Merupakan fitrah yang tercipta pada diri setiap manusia, sesuai dengan tabiat manusiawi yang dipupuk dengan nilai-nilai keimanan. Ia berfungsi sebagai penjaga kemuliaan dan kehormatan manusia. Akan tetapi, perasaan cemburu tersebut haruslah sesuai dengan aturan agama yang mengutamakan kesabaran, ilmu, keadilan, kebijaksanaan, kejujuran, ketenangan dan kelembutan dalam semua perkara.

Menurut 'Abdullah bin Syaddad, 
Dua jenis ghirah.
1.   Ghirah yang dengannya seseorang dapat memperbaiki keadaan keluarga.
2.   Ghirah yang dapat menyebabkannya masuk neraka.

Ditinjau dari nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, cemburu ada dua macam. Dalam sebuah hadits disebutkan : bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Ada jenis cemburu yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala, adapula yang dibenci-Nya. Yang disukai, yaitu cemburu tatkala ada keraguan, sedangkan yang dibenci, yaitu adalah yang tidak dilandasi keraguan.

Disebutkan di dalam hadits,

Saad bin Ubadah radhiallahu 'anhu berkata, Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan isteriku, niscaya akan kutebas ia dengan pedang, ucapan itu akhirnya sampai kepada Rasulullah. Lalu beliau shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Apakah kalian merasa heran terhadap kecemburuan Saad? Demi Allah, aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.

Ditinjau dari sisi yang lain,
Cemburu ada dua macam
1. Ghirah lil mahbub (cemburu membela orang yang dicintai).
2. Ghirah 'alal mahbub (cemburu membela agar jangan sampai ada orang lain yang juga mencintai orang yang dicintainya.

Ghirah lil mahbub adalah pembelaan seseorang terhadap orang yang dicintai, disertai dengan emosi demi membelanya, ketika hak dan kehormatan orang yang dicintai diabaikan atau dihinakan. Dengan adanya penghinaan tersebut, ia marah demi yang dicintainya, kemudian membelanya dan berusaha melawan orang yang menghina tadi. Inilah cemburu sang pencinta yang sebenarnya. Dan ini pula ghirah para Rasul 'alaihi salam dan pengikutnya terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jenis ghirah inilah yang semestinya dimiliki seorang muslim, untuk membela Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul shollallahu 'alaihi wa sallam dan agama-Nya.
Adapun ghirah 'alal mahbub adalah kecemburuan terhadap orang lain yang ikut mencintai orang yang dicintainya. Jenis ghirah inilah yang hendak kita kupas pada pembahasan ini.

  Beberapa Contoh KecemburuanSebagian Istri Nabi Shollallahu'alaihi wasallam

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Anas radhiallahu 'anhu berkata:

Suatu ketika Nabi di rumah salah seorang isteri beliau. Tiba-tiba isteri yang lain mengirim mangkuk berisi makanan. Melihat itu, isteri yang rumahnya kedatangan Rasul memukul tangan pelayan pembawa makanan tersebut, maka jatuhlah mangkuk tersebut dan pecah. Kemudian Rasul mengumpulkan kepingan-kepingan pecahan tersebut serta makanannya, sambil berkata: Ibu kalian sedang cemburu, lalu Nabi menahan pelayan tersebut, kemudian beliau memberikan padanya mangkuk milik isteri yang sedang bersama beliau untuk diberikan kepada pemilik mangkuk yang pecah. Mangkuk yang pecah beliau simpan di rumah isteri yang sedang bersama beliau.

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa isteri Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam yang memecahkan mangkuk adalah 'Aisyah Ummul Mukminin, sedangkan yang mengirim makanan adalah Zainab binti Jahsy.

Dalam hadits yang lain diriwayatkan:

Dari Aisyah: Aku tidak cemburu kepada seorang wanita terhadap Rasulullah sebesar cemburuku kepada Khadijah, sebab beliau selalu menyebut namanya dan memujinya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, 'Aisyah berkata: Tatkala pada suatu malam yang Nabi berada di sampingku, beliau mengira aku sudah tidur, maka beliau keluar. Lalu aku (pun) pergi mengikutinya. (Aku menduga beliau pergi ke salah satu isterinya dan aku mengikutinya sehingga beliau sampai di baqi). Beliau belok, aku pun belok. Beliau berjalan cepat, akhirnya aku mendahuluinya. Lalu beliau bersabda: Kenapa kamu, hai Aisyah, dadamu berdetak kencang? Lalu aku mengabarkan kepada beliau kejadian yang sesungguhnya, beliau bersabda: Apakah kamu mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimimu?.

  Nasihat  Bagi Wanita Dalam Mengendalikan Rasa Cemburu

Sebagaimana fenomena yang kita lihat dalam kehidupan tangga pada umumnya, tampaklah bahwa sifat cemburu itu sudah menjadi tabiat setiap wanita, siapapun orangnya dan bagaimanapun kedudukannya. Akan tetapi, hendaklah perasaan cemburu ini dapat dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan masalah yang bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga.

Berikut beberapa nasihat yang perlu diperhatikan oleh para isteri untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga, sehingga tidak ternodai oleh pengaruh perasaan cemburu yang berlebihan.

* Seorang isteri hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersikap pertengahan dalam hal cemburu terhadap suami. Sikap pertengahan dalam setiap perkara merupakan bagian dari kesempurnaan agama dan akal seseorang. Dikatakan oleh Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Aisyah radhiallahu 'anha: Hai 'Aisyah, bersikaplah lemah-lembut, sebab jika Allah menginginkan kebaikan pada sebuah keluarga, maka Dia menurunkan sifat kasih-Nya di tengah-tengah keluarga tersebut. Dan sepatutnya seorang isteri meringankan rasa cemburu kepada suami, sebab bila rasa cemburu tersebut melampaui batas, bisa berubah menjadi tuduhan tanpa dasar, serta dapat menyulut api di hatinya yang mungkin tidak akan pernah padam, bahkan akan menimbulkan perselisihan di antara suami dan melukai hati sang suami. Sedangkan isteri akan terus hanyut mengikuti hawa nafsunya.

* Wanita pencemburu, lebih melihat permasalahan dengan perasaan hatinya daripada indera matanya. Ia lebih berbicara dengan nafsu emosinya dari pada pertimbangan akal sehatnya. Sehingga sesuatu masalah menjadi berbalik dari yang sebenarnya. Hendaklah hal ini disadari oleh kaum wanita, agar mereka tidak berlebihan mengikuti perasaan, namun juga mempergunakan akal sehat dalam melihat suatu permasalahan.

* Dari kisah-kisah kecemburuan sebagian isteri Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam tersebut, bisa diambil pelajaran berharga, bahwa sepatutnya seorang wanita yang sedang dilanda cemburu agar menahan dirinya, sehingga perasaan cemburu tersebut tidak mendorongnya melakukan pelanggaran syari'at, berbuat zhalim, ataupun mengambil sesuatu yang bukan haknya. Maka janganlah mengikuti perasaan secara membabi buta.

* Seorang isteri yang bijaksana, ia tidak akan menyulut api cemburu suaminya. Misalnya, dengan memuji laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekaguman terhadap laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekagumman terhadap laki-laki lain, baik pakaiannya, gaya bicaranya, kekuatan fisiknya dan kecerdasannya. Bahkan sangat menyakitkan hati suami, jika seorang isteri membicarakan tentang suami pertamanya atau sebelumnya. Rata-rata laki-laki tidak menyukai itu semua. Karena tanpa disadarinya, pujian tersebut bermuatan merendahkan kejantanannya, serta mengurangi nilai kelaki-lakiannya, meski tujuan penyebutan itu semua adalah baik. Bahkan, walaupun suami bersumpah tidak terpengaruh oleh ungkapannya tersebut, tetapi seorang isteri jangan melakukannya. Sebab, seorang suami berat melupakan itu semua.

* Ketahuilah wahai para isteri! Bahwa yang menjadi keinginan laki-laki di lubuk hatinya adalah jangan sampai ada orang lain dalam hati dan jiwamu. Tanamlah dalam dirimu bahwa tidak ada lelaki yang terbaik, termulia, dan lainnya selain dia.

* Wahai para isteri! Jadikanlah perasaan cemburu kepada suami sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepadanya. Jangan menjadikan ia menoleh kepada wanita lain yang lebih cantik darimu. Berhias dirilah, jaga penampilan di hadapannya agar engkau selalu dicintai dan disayanginya. Cintailah sepenuh hatimu, sehingga suami tidak membutuhkan cinta selain darimu. Bahagiakan ia dengan seluruh jiwa, perasaan dan daya tarikmu, sehingga suami tidak mau berpisah atau menjauh darimu. Berikan padanya kesempatan istirahat yang cukup. Perdengarkan di telinganya sebaik-baik perkataan yang engkau miliki dan yang paling ia senangi.

* Wahai, para isteri! Janganlah engkau mencela kecuali pada dirimu sendiri, bila saat suamimu datang wajahnya dalam keadaan bermuram durja. Jangan menuduh salah-kecuali pada dirimu sendiri, bila suamimu lebih memilih melihat orang lain dan memalingkan wajah darimu. Dan jangan pula mengeluh bila engkau mendapatkan suamimu lebih suka di luar daripada duduk di dekatmu. Tanyakan kepada dirimu, mana perhatianmu kepadanya? Mana kesibukanmu untuknya? Dan mana pilihan kata-kata manis yang engkau persembahkan kepadanya, serta senyum memikat dan penampilan menawan yang semestinya engkau berikan kepadanya? Sungguh engkau telah berubah di hadapannya, sehingga berubah pula sikapnya kepadamu, lebih dari itu, engkau melemparkan tuduhan terhadapnya karena cemburu butamu.

* Dan ingatlah wahai para isteri! Suamimu tidak mencari perempuan selain dirimu. Dia mencintaimu, bekerja untukmu, hidup senantiasa bersamamu, bukan dengan yang lainnya. Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, ikutilah petunjuk-Nya dan percayalah sepenuhnya kepada suamimu setelah percaya kepada Allah yang senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang selalu menjaga perintah-perintah-Nya, lalu tunaikanlah yang menjadi kewajibanmu. Jauhilah perasaan was-was, karena setan selalu berusaha untuk merusak dan mengotori hatimu.

 Tidak Bolehkah Cemburu?

Barangkali, di antara para isteri ada yang membantah dan berkata, adalah kebodohan apabila seorang isteri tidak memiliki rasa cemburu pada suaminya, padahal cemburu ini merupakan ungkapan cintanya kepada suaminya, sekaligus sebagai bumbu penyedap yang bisa menimbulkan keharmonisan, kemesraan dan kepuasan batin dalam kehidupan rumah tangga.

Ya benar! Akan tetapi, apakah pantas seorang isteri yang berakal sehat, jika ia tenggelam dalam rasa cemburunya, sehingga menenggelamkan bahtera kehidupan rumah tangganya, mencabik-cabik jalinan cinta dan kasih sayang dalam keluarganya, bahkan ia sampai terjangkiti penyakit psikis yang kronis, perang batin yang tidak berkesudahan, dan akhirnya merusak akal sehatnya?

Memang sangat tipis, perbedaan antara yang benar dengan yang salah, antara yang sakit dengan yang sehat, antara cemburu yang penuh dengan kemesraan dengan cemburu yang membakar dan menyakitkan hati dikarenakan penyakit kejiwaan yang berat. Namun, tetap ada perbedaan antara cemburu dalam rangka membela kehormatan diri dan kelembutan karena didasari rasa cinta kepada suami, dengan cemburu yang merusak dan membinasakan. Kalau begitu, cemburulah wahai para isteri, dengan kecemburuan yang membahagiakan suamimu, dan menampakkan ketulusan cintamu kepadanya! Tetapi hindarilah kecemburuan yang merusak dan menghancurkan keluargamu. Cemburulah demi memelihara harga diri dan kehormatan suami. Dan lebih utama lagi, cemburu untuk membela agama Allah.

Isteri yang selalu memantau kegiatan suaminya, mencari-cari berita tentangnya, serta selalu menaruh curiga pada setiap aktivitas suaminya, bahkan cemburu kepada teman dan sahabatnya, maka inilah isteri yang bodoh. Dengan sifatnya tersebut, maka kehidupan rumah tangganya, rasa cinta, kepercayaan di antara keduanya akan terputus dan hancur. Dan bagi wanita yang rasa cemburunya tersulut karena suatu sebab, kemudian ia merasa hal itu tidak pada tempatnya, hendaklah ia menyadari kesalahannya, lalu melakukan perbaikan atas sikapnya tersebut. Dan yang paling penting adalah, tidak mengulangi lagi kesalahan serupa di kemudian hari.


alsofwah.or.id (c) Hak cipta 2008 - Hatibening.com
Labels: 0 comments | | edit post
ummuhanin
BADAN yang subur acap kali dijadikan salah satu indikator kemakmuran seseorang. Demikian halnya anggapan yang salah di kalangan masyarakat yang kerap menganggap anak gemuk itu lucu dan sehat. Padahal tidak demikian, kelebihan berat badan (overweight) apalagi obesitas saat ini sudah menjadi sebuah epidemi global yang perlu segera diatasi dan dicegah karena dapat menyebabkan beragam masalah kesehatan.

Tak hanya pada orang dewasa, kegemukan yang terjadi sejak masa kanak-kanak dapat menyuramkan kondisi kesehatan si anak pada kemudian hari. Dengan kata lain, anak yang kegemukan sejak kecil diprediksi bakal lebih cepat mengalami gangguan kesehatan. Sejumlah studi bahkan menyimpulkan, anak-anak yang kelebihan berat badan sejak usia kurang dari 10 tahun akan menghadapi ancaman stroke pada usia 40, bahkan bisa dimulai sejak usia 30. Cukup menyeramkan kan?

Nah, terkait janin besar, memang ada kemungkinan si bayi mencapai berat badan normal seiring pertumbuhannya. Namun, perlu dipahami bahwa bobot janin yang terlampau besar merupakan kondisi yang tidak baik bagi janin maupun ibunya. Kendati rata-rata berat normal bayi baru lahir adalah 3,2 kilogram, ras yang berbeda bisa melahirkan bayi dengan berat berbeda pula. Di Indonesia, bayi lahir dengan berat 4 kg terbilang besar, tapi di Amerika atau Pakistan misalnya, ukuran 4-5 kg bisa dianggap wajar.

Kondisi bayi dengan berat lahir berlebih atau abnormal diistilahkan dengan fetal macrosomia. Ini sering terjadi pada anak dengan ibu diabetes, atau mereka dengan gigantisme serebral. Saat hamil, gula darah memang cenderung meningkat.

Kadar gula darah yang tidak terkontrol inilah yang dapat memicu pertumbuhan janin menjadi besar.

"Wanita diabetes harus berhati-hati saat mengandung. Gula darah harus selalu dipantau, dietnya juga diatur, kalau perlu minum obat untuk mengontrol kadar gula darah agar tetap stabil," saran spesialis kebidanan dan kandungan dari Brawijaya Women and Children Hospital dr Nugroho Kampono SpOG(K).

Macrosomia juga bisa terjadi pada kelahiran yang belum cukup umur. Misalkan, bayi yang terlahir pada usia 7 bulan kehamilan, tapi beratnya sudah mencapai 3-4 kilogram. Badannya mungkin terlihat besar, tapi organ tubuhnya belum matang. Akibatnya, bisa jadi pernapasan bayi tidak berkembang atau timbul hipoglikemi (kadar gula darah turun drastis).

Demikian halnya usia kehamilan yang terlalu lama (41 minggu atau lebih) dan kehamilan kembar juga meningkatkan risiko macrosomia. Bila bumil punya riwayat melahirkan bayi macrosomia sebelumnya, maka ia berisiko 5-10 kali lebih tinggi untuk kembali melahirkan bayi macrosomia dibandingkan wanita yang belum pernah melahirkan bayi macrosomia.

Lebih jauh, aspek genetik juga diduga turut berperan. Orangtua yang tinggi dan gemuk tentunya lebih berpeluang melahirkan bayi berukuran besar pula. Bumil dengan berat badan berlebih, baik sebelum hamil ataupun pertambahan berat badan yang pesat selama kehamilan, juga perlu memantau dan mengendalikan bobot tubuhnya. Pasalnya, wanita obesitas berisiko lebih besar melahirkan bayi berbobot besar. Data menyebutkan, sekitar 15-30 persen wanita yang melahirkan bayi macrosomia memiliki bobot 90 kilogram atau lebih.

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan? Hal terbaik adalah melakukan perencanaan pola makan dan asupan gizi semasa hamil yang dikonsultasikan ke ahli gizi. Karena itu bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing bumil. Selain itu, lakukan pengendalian diri dengan tidak mengonsumsi makanan berpengawet dan berpewarna buatan.

"Pada kehamilan trimester pertama, sebaiknya bumil tidak melakukan diet atau mengurangi makan. Apalagi hamil tiga bulan pertama biasanya kecenderungan mual dan muntah. Jadi, ibu bisa makan apa yang dia selera dan tidak membuat mual atau muntah. Trimester pertama juga merupakan masa aktif pembelahan sel sehingga bumil perlu energi yang mencukupi," saran spesialis Kebidanan dan Kandungan dari RS Hermina Jakarta, dr Arju Anita SpOG.
ummuhanin


Berat badan sebelum hamil dan kenaikan berat badan selama hamil, ternyata berpengaruh terhadap kesehatan dan pertumbuhan janin. Jadi, harus bagaimana dong?

Kesehatan dan pertumbuhan janin sangat dipengaruhi oleh kesehatan ibunya. Salah satu faktor penting kesehatan ibu itu adalah pengaturan berat badan. Akan lebih baik lagi, bila hal ini dilakukan sejak Anda merencanakan kehamilan.

   Berapa idealnya?   


Khusus wanita Asia dewasa, bila menggunakan indeks massa tubuh (lihat boks “Menghitung Indeks Massa Tubuh”) , maka berat badan normal berada dalam rentang 19-23. Jadi, bila berat badan Anda sebelum hamil termasuk kurang atau berlebih, naikkan atau turunkan dulu.

Asal tahu saja, berat badan calon ibu yang kurang (kurus) atau berlebih (gemuk) akan membuat kehamilannya berisiko (lihat boks “Perhatian!”). Dan, berat badan sebelum hamil juga mempengaruhi jumlah kenaikan berat badan selama hamil. Makanya, konsultasikan lebih dulu hal ini dengan dokter Anda. Dengan begitu, bisa ditentukan kenaikan berat badan selama hamil yang paling pas. Inilah beberapa hal yang bisa dijadikan bahan pertimbangan:

• Bila berat badan sebelum hamil normal, maka kenaikan berat Anda sebaiknya antara 9-12 kg.

• Kalau sebelumnya berlebih, kenaikan berat badan cukup antara 6-9 kg.

• Bila sebelum kehamilan berat badan Anda kurang, kenaikan berat badan sebaiknya antara 12-15 kg.

• Jika mengandung bayi kembar dua atau lebih, kenaikan berat badan selama hamil harus lebih banyak lagi, tergantung jumlah bayi Anda.

Yang pasti, bila kenaikan berat badan Anda selama hamil masih dalam rentang yang ideal, tak usah khawatir. Karena, kenaikan berat badan tersebut bukan hanya disebabkan oleh terjadinya timbunan lemak, melainkan juga akibat proses tumbuh-kembang janin, pertambahan berat rahim, plasenta, volume darah, cairan ketuban, cairan dalam jaringan tubuh Anda, dan membesarnya payudara.

   Jeli pilih makanan.....

Sebenarnya, yang penting adalah pola kenaikan berat badan Anda selama hamil, dan bukan total kenaikan berat badan Anda. Apa artinya?

• Selama trimester pertama , biasanya terjadi kenaikan berat badan minimal, yaitu 1-2 kg. Jadi, walau Anda sering merasa mual dan hilang nafsu makan, berat badan harus tetap naik. Karena, pada trimester ini, otak, pancaindera dan alat kelamin janin sedang dibentuk. Biasanya, rasa mual bisa dihindari dengan menghindari makanan yang berlemak, makanan dingin, atau terlalu asam.

• Menginjak trimester kedua , nafsu makan Anda biasanya sudah pulih. Makanya, mulai saat ini, Anda harus ekstra hati-hati. Idealnya, kenaikan berat badan rata-rata 0,35-0,4 kg per minggu. Yang baik memang kenaikan berat badan Anda terjadi secara perlahan dan kontinyu. Sebagai catatan, kenaikan yang berlebih atau sangat cepat bisa jadi indikasi awal terjadinya keracunan kehamilan atau diabetes.

Juga, sebaiknya Anda tetap berusaha mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan bahan makanan yang bervariasi, sesu ai kebu t u han tubuh saat hamil. Dengan perkiraan kenaikan berat badan selama hamil rata-rata sekitar 12,5 kg, maka tubuh Anda butuh tambahan energi sebesar 70.000-80.000 Kal. Pertambahan kalori ini, terutama diperlukan pada 20 minggu terakhir masa kehamilan, yaitu ketika pertumbuhan janin berlangsung sangat pesat. Bila 80.000 Kal dibagi 40 minggu (280 hari), maka tambahan kalori yang Anda perlukan adalah antara 285-300 Kalori per hari.

Lalu, mengingat Anda sedang ‘menumbuhkan' bayi, upayakan agar kalori yang Anda peroleh berasal dari makanan yang bergizi. Hindari mengonsumsi terlalu banyak junkfood atau makanan yang hanya mengandung kalori tinggi, seperti karbohidrat, lemak, dan gula. Selain hanya mengandung sedikit zat gizi, jenis makanan ini bisa membuat berat badan melonjak secara drastis. Jadi, perbanyaklah konsumsi makanan yang mengandung protein, vitamin dan mineral. Misalnya, daging, ikan, telur, kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan segar. Jenis makanan tersebut sangat diperlukan janin.

   Perhatian !  


• Bila berat badan sebelum hamil dan kenaikan berat badan selama hamil kurang , maka si kecil berisiko lahir dengan berat badan kurang atau berat bayi lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR akan terganggu perkembangan dan kecerdasannya, selain kesehatan fisiknya juga kurang bagus.

• Bila berat badan sebelum hamil dan kenaikan berat badan selama hamil berlebih , bayi Anda berisiko terhambat pertumbuhannya akibat penyempitan pembuluh darah. Anda juga berisiko mengalami komplikasi, baik selama kehamilan maupun persalinan; seperti perdarahan, tekanan darah tinggi, atau keracunan kehamilan (preeklampsia). Juga, Anda akan sulit menghilangkan kelebihan berat badan setelah melahirkan.




Rumus Indeks Massa Tubuh

                               Berat Badan (kg)
Indeks Massa Tubuh = ------------------------

                               Tinggi Badan (m2)



Dewi Handajani
Konsultasi ilmiah: dr. Dwiana Ocviyanti, Sp.OG, Bagian Obstetri dan Ginekologi, FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
ummuhanin
“Wanita sholehah ialah, jika dipandang ia menyenangkan suaminya, jika diperintah dia taat dan jika (suaminya) keluar dia menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no 1417)

Dalam bahtera rumah tangga, sosok suami adalah nahkoda dari bahtera yang berlabuh. Suamilah yang bertanggung jawab untuk menyelamatkan seluruh awak kapal, yaitu istri dan anak-anaknya dari terjangan ombak dan hadangan karang selama mengarungi samudera kehidupan, sampai bahtera itu mencapai pelabuhan abadi dalam keridhaan Alloh swt.


Dalam kehidupan nyata, seorang suami adalah pemimpin yang memiliki tugas mengatur dan mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Dalam pengaturannya, seorang suami adalah pemimpin yang harus mampu mengarahkan seluruh anggota keluarganya agar tetap dalam bingkai rumah tangga Islami, dalam keutuhan nilai-nilai sam’an wa tho’atan (mendengar dan ta’at) kepada setiap perintah dan larangan Alloh swt, agar tidak terjerumus ke dalam murka-Nya. Dalam hal ini dapat kita gambarkan, bahwa seorang suami adalah tameng bagi anggota keluarganya yang sedang menuju ke jurang neraka. Bila ia mampu menahan mereka agar tidak jatuh ke dalamnya, maka ia dan seluruh anggota keluarganya akan selamat. Namun, jika ia tidak dapat menahannya, maka ia akan tercebur bersama seluruh anggota keluarganya ke dalamnya. Sedangkan tanggungjawab tersebut, seluruhnya ada pada dirinya, yang menyebabkan keluarganya masuk ke dalam jahannam. Na’udzubillah

Dalam mempertahankannya, seorang suami adalah laki-laki yang harus memperlakukan istrinya dengan baik, tidak suka memukul, memberikan nafkah, pakaian, dan memberikan seluruh kebutuhan istri sesuai dengan haknya. Rasululloh saw pernah ditanya tentang hak istri atas suami, maka beliau menjawab:

“Hendaklah engkau memberinya makan, jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau memakainya, dan janganlah pula engkau memukul wajahnya dan menjelek-jelekkannya dan jangan pula menjauhinya, kecuali di dalam rumah (tempat tidur).” (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan)

Seorang suami yang taat kepada Robb-nya pasti akan senantiasa berusaha menjaga hak-hak istrinya dengan sempurna. Dalam kesabaran ia mendidik istrinya, dalam kasih sayang dia menjaga-nya dari bahaya, dalam tanggungjawab dia mencukupi kebutuhannya, dan dalam kesunyian ia selalu membisikkan kata-kata kepadanya, “Semoga Alloh menjadikanmu pendampingku di surga.”

Dari sini dapat kita katakana, bahwa sangatlah wajar bila seorang istri menunaikan hak-hak suaminya, dengan sebab-sebab yang telah disebutkan di atas. Namun, seandainya pun sang suami tidak dapat memenuhi hak istrinya secara sempurna, tidaklah berarti diwajarkan bagi seorang istri untuk mencampakkan hak-hak suaminya, karena di atas itu semua, ada kewajiban yang Alloh swt dan Rasul-Nya saw perintahkan kepada seorang istri untuk senantiasa taat kepada suaminya. Rasululloh saw bersabda:

“Sesungguhnya seorang istri belum (dikatakan) menunaikan kewajibannya terhadap Alloh, sehingga menunaikan kewajiban terhadap suaminya seluruh-nya.” (HR. Thabrani)

Oleh karena itu, maka hendaklah bagi seorang istri yang sholehah untuk dapat memfungsikan dirinya sebagai wanita yang selalu mengharap keridhaan suaminya.

“Tiap-tiap istri yang meninggal dan diridhai suaminya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

1. Ridho Terhadap Pemberian Suami
Wajarlah bila sebuah rumah tangga mengalami “guncangan”. Karena, tidaklah mungkin sebuah bahtera yang berlayar melewati samudera yang luas dapat berjalan mulus dengan mudah, tanpa menghadapi gelombang ombak yang menghadang.

Guncangan, biasanya terjadi karena permasalahan ekonomi. Cobaan inilah yang sering dialami oleh sebuah keluarga. Maka, tidak sedikit bahtera-bahtera yang kandas di tengah jalan oleh hadangan gelombang ujian perekonomian ini.

Biasanya, kejadiannya bermula di saat sang suami tidak dapat memberikan nafkah yang cukup bagi keluarganya, atau bahkan sudah cukup, namun, sang istri selalu merasa kurang dengan nafkah yang diberikan, kemudian buntutnya, menuntut yang lebih dari suami, cek-cok, lalu…, bubar. Na’udzubillah

Melihat kejadian yang mengerikan di atas yang bukan kejadian satu-dua, tapi sudah banyak. Maka, dituntut kehati-hatian seorang istri di dalamnya. Karena, mengingat sabda Rasul saw:

“Telah diperlihatkan kepadaku neraka, di mana penghuninya yang terbanyak adalah wanita-wanita yang kufur.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasululloh! Apakah mereka kufur kepada Alloh?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari perbuatan baik suaminya. Sekiranya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang tahun, kemudian ia melihat sesuatu (keburukan pada dirimu) ia berkata, “aku tidak pernah melihat kebaikan darimu”.” (HR. Bukhari)

Seorang istri yang cerdas, tentu tidak menginginkan menjadi bagian dari golongan wanita-wanita yang dikabarkan oleh Rasululloh saw dalam hadits tadi. Seorang istri yang sholehah akan selalu mencari keridhaan suaminya, dalam suka maupun duka.

Apabila suaminya pergi, dia tidak ditinggalkan, kecuali sudah memenuhi perbekalan suaminya, kemudian dia senantiasa berhusnudzon (berprasangka baik) terhadap suaminya, bahwa suaminya itu sedang bekerja mencari nafkah untuk dirinya, dia pun senantiasa mendo’akan suaminya pada saat kepergiannya. Lalu, ketika sang suami telah mendaratkan kakinya di rumah, dia menyambutnya dengan gembira, dengan senyuman yang hangat seraya berucap, “Alhamdulillah…,” Bila ia dapati suaminya mendapatkan hasil yang cukup, ia mensyukurinya dan bila tidak, maka ia pun tetap ridho terhadap suaminya. Walaupun menuntut, ia tidak memaksa, malah memberikan motivasi untuk tetap bersemangat. Karena ia menyadari, bahwa segala sesuatu yang didapatkan di dunia ini pada hakekatnya adalah Alloh swt yang memberikannya, bila berkehendak Dia memberi, jika tidak, maka tidak ada kuasa bagi seseorang untuk menolaknya.

2. Memberi Kabar Gembira

Entah apa jadinya kota suci Mekkah saat ini bila tidak ada peranan seorang istri gubernur Dar’iyah yang mengajak suaminya untuk memenuhi ajakan dakwah Ahlussunnah yang dibawa oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab?

Memang, kita tidak menyangsikan akan adanya rencana dan kekuasaan Alloh swt, mungkin dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab akan berhasil melalui jalan lainnya, akan tetapi di sini, yang sedang kita lihat dan renungkan sekarang ini adalah tentang kemuliaan seorang istri sholehah yang berusaha untuk mengajak suaminya agar mendukung dakwah yang mulia itu.

Kisah ini terjadi sekitar dua ratus tahun lalu, ketika kota Hijaz masih dipenuhi oleh kebodohan yang pada akhirnya menciptakan berbagai lahan bid’ah dan khurafat. Di kota itu ada satu kuburan yang dianggap kuburan Zaid bin Khattab.

Masyarakat yang bodoh itu setiap harinya beramai-ramai mendatangi kuburan tersebut, menyembelih hewan di sisinya, dan mengambil keberkahan darinya. Di kuburan itu juga terdapat pohon kurma jantan yang selalu dikunjungi oleh wanita-wanita yang telat nikah, sambil mengatakan, “Wahai jantannya para jantan, kami menginginkan suami sebelum lewat satu tahun.”

Dalam kondisi yang mengkhawatirkan seperti itu, Alloh swt berkehendak merubahnya, Dia menakdirkan seorang imam (Muhammad bin Abdul Wahab) yang datang dari kota Ayinah untuk memerangi berbagai bentuk kesyirikan tersebut dan mengembalikan manusia kepada kitabulloh dan sunnah nabi yang di mulia di negeri yang mulia itu.

Namun, ada saja aral rintangan dakwah, orang yang tidak menyukai dakwah Imam meminta kepada gubernur di kota itu untuk membunuh Al-Imam, pada akhirnya gubernur itu tidak membunuhnya, akan tetapi dia mengusir beliau dari kota kelahirannya tersebut.

Tanpa berpikir panjang beliau pun pergi meninggalkan kota tersebut. Dengan berjalan kaki beliau menuju Dar’iyah dengan cahaya kebenaran yang diserukannya.

Di tempat baru tersebut beliau menemui seorang tokoh yang mulia, namanya Muhammad bin Suwailim Al-’Uraini. Ketika Ibnu Suwailim melihat Imam Muhammad bin Abdul Wahab, ia gemetaran karena rasa takut. Beliau berkata kepadanya untuk menenangkannya, “Bergembiralah dengan kebaikan, yang saya serukan kepada manusia ini adalah agama Alloh, dan Alloh pasti akan memenangkannya.!”

Gubernur Dar’iyah saat itu adalah Muhammad bin Sa’ud. Kedua saudara-saudara Gubernur yang masih bersih imannya, yaitu Tsunaiyan dan Musyawi mengetahui dengan kedatangan Al-Imam, mereka berdua berniat menolong dakwah yng diserukan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab.

Berangkatlah mereka berdua menuju istri saudara mereka, Gubernur Muhammad bin Sa’ud. Nama istri gubernur adalah Mudli bintih Wathyan. Kedua saudara itu berkata kepada istri gubernur yang sholehah ini, “Kabarkan kepada Muhammad keberadaan laki-laki ini (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab), berilah dia motivasi agar menerima dakwahnya dan tumbuhkan semangatnya untuk mendukungnya serta memperkokoh dakwahnya.”

Ternyata, istri yang cerdas dan yang telah terpenuhi hatinya dengan cahaya iman ini mampu mengatur segala sesuatunya dengan baik. Tatkala suaminya Muhammad bin Sa’ud datang, ia segera menghampirinya seraya berkata, “Bergembiralah dengan datangnya keuntungan yang sangat besar.”

Alangkah indahnya perkataan itu. Demi Alloh, hati kaum laki-laki akan berbunga dan perasaannya akan terbang menerawang, hanya sekedar mendengar kata bergembiralah dari istrinya. Keuntungan macam apakah yang ia maksudkan? Apakah keuntungan hasil perdagangan? Tentu tidak, bahkan keuntungan perniagaan yang lebih besar dari itu.

Ia melanjutkan perkataannya, “Bergembiralah dengan datangnya keuntungan besar yang digiring oleh Alloh kepadamu, seorang da’i yang menyeru manusia kepada Alloh, kitab-Nya, dan sunnah rasul-Nya saw. Alangkah indahnya keuntungan itu, segeralah bergegas menerimanya dan mendukungnya. Jangan sekali-kali bersikap masa bodoh dalam hal tersebut.”

Alangkah besarnya perniagaan yang ditawarkan istrinya itu kepada suaminya tersebut. Seorang istri yang memiliki ketajaman akal, kefasihan lidah dan keberanian di dalam mengungkapkan kebenaran, sekalipun yang dihadapinya adalah suaminya, yang harus ia hormati dan taati. Namun, dia tidak mempersoalkan yang demikian, karena persoalan agama lebih utama, dan dia tidak mabuk kekuasaan, hingga melupakan para aktivis dakwah. Demi Alloh, ia telah memberi kabar gembira dengan datangnya keuntungan besar kepada suaminya yang suatu saat kelak akan dipetik di sisi-Nya.

Kemudian sang gubernur Muhammad bin Sa’ud pun memenuhi ajakan yang sangat mempesona itu secara spontan. Sang gubernur ingin meminta pendapat istrinya, “Apakah sebaiknya saya mengundangnya, atau saya pergi menemuinya?”

Ajakan sang gubernu pada istrinya untuk bermusyawarah itu sebagai bukti, bahwa ia memperhatikan pendapat sang istri. Ini merupakan bangunan rumah tangga yang kokoh. Bangunan yang didirikan atas landasan kecintaan dan saling memahami.

Saling memahami antara suami dan istri di bawah naungan syari’at Alloh swt. Sang suami meminta pendapat sang istri, dan sang istri meminta pendapat sang suami demi kemaslahatan mereka bersama. Inilah kebahagiaan hidup rumah tangga yang sering diidam-idamkan.

Alangkah indahnya hidup berumah tangga seperti itu, istri gubernur ini benar-benar mengumandangkan kebenaran di dalam menyampaikan pendapatnya kepada suaminya sebagai wujud baktinya untuk agama ini dan juga sebagai rasa kasih sayang dia kepada suami. Karena istri yang shalihah akan selalu memotivasi suaminya agar berada di jalur kebaikan, mencintai para ulama, dan selalu menghadiri majelis-majelis kemuliaan yang berisikan warisan-warisan Rasululloh saw di dalamnya. Bukan sebaliknya, membiarkan suami bergelimang di dalam dosa dan kemaksiatan yang nantinya hanya akan berujung di neraka. Na’udzubillah.

Demikian itulah hasil dari motivasi yang diberikan oleh binti Wadhyan kepada suaminya. Dan sang gubernur pun menyambutnya.

Berkat karunia Alloh swt dakwah Islam tersebar luas hingga sampai ke negera Syam melalui seorang Imam kaum muslimin, Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun di balik itu semua, cahaya kebenaran itu muncul kembali melalui seorang istri yang selalu menghendaki kebaikan bagi suaminya dengan memberikan kabar gembira akan adanya keuntungan yang besar di sisi Alloh swt.

Berilah kabar gembira kepada suamimu dengan jannah Alloh swt.


3. Memberi Senyuman Terindah

Rumah tangga adalah merupakan bentuk pemerintahan terkecil di dalam komunitas masyarakat, namun begitu, peranannya pun teramat vital bagi masyarakat itu sendiri, bahkan boleh jadi, suatu negara atau bangsa dimana pun tidak akan dapat tegak berdiri bila tidak ada peranan yang baik dari lembaga keluarga tersebut. Sebab, negara merupakan suatu batas yang dihuni oleh kumpulan masyarakat. Sedangkan masyarakat tidak akan baik atau berdiri dengan aman dan harmonis bila tidak didukung oleh peranan keluarga-keluarga yang bertanggungjawab.

Begitu pun dengan lembaga keluarga tersebut, mustahil akan serasi, tanpa terbentuknya keharmonisan anggotanya sendiri, minimal ada kecocokan antara suami dan istri. Maka, menjadi agenda penting yang harus menjadi prioritas bagi seorang istri maupun seorang suami adalah menciptakan rumah tangga yang harmonis dengan jalan membina kerukunan rumah tangga, yang dibangun di atas pondasi yang kuat, yaitu pondasi Islam.

Perumpamaan hidup berkeluarga dalam suatu rumah tangga ibarat seekor burung yang sedang terbang dengan kedua sayapnya ke suatu tempat yang dituju. Kedua sayapnya menggambarkan sepasang insan suami dan istri yang tengah berpacu saling membahu dalam mengarungi bahtera kehidupan. Sebagaimana burung yang tidak bisa terbang kalau salah satu sayapnya tak berfungsi, begitu pula halnya dengan kehidupan suami-istri. Tak akan pernah ditemui keharmonisan, hidup rukun, seiring-sejalan, kalau antar suami-istri tidak saling memahami unsur tabi’at dan kepribadian masing-masing.

Banyak ahli mengatakan, keharmonisan keluarga ditentukan jika banyak memiliki unsur persamaan. Seperti, kesamaan hobby, atau profesi. Ada pula yang beranggapan bahwa unsur kesamaan seperti itu bisa ditolerir, yang lebih penting lagi adalah saling pengertian.

Islam tentu memiliki konsep tersendiri yang tentunya lebih sempurna. Contoh konkrit adalah mengikuti jejak rumah tangga Rasululloh saw. Yang jelas, patokan rumah tangga muslim ideal tidak boleh melenceng dari program pokok hidup ini, yaitu saling melengkapi dalam beribadah kepada Alloh swt. Apa pun yang dilakukan, tetap dalam rangka itu, kesatuan langkah merealisasikan cita-cita hidup, bahu-membahu dalam mengemban amanah, demi meraih nilai tertinggi, yaitu ridha Alloh swt.

Wanita sebagai ibu rumah tangga yang baik, tidak terlalu banyak menuntut hal keduniaan di luar batas kemampuan suami. Sebaliknya jika keluarganya diberi karunia kelebihan rezeki, ia pemurah, bahkan mendorong suaminya untuk menyisihkan infaq khusus untuk kegiatan fi sabilillah, bukan malah mencegahnya.

Seorang istri mujahid atau mubaligh yang shalihah akan mengerti bila suaminya memiliki banyak jadwal kegiatan. Maka, dia dengan rela menerima dan menggembirakan tamu suaminya apabila suaminya itu dikunjungi oleh teman atau mad’unya. Ia pun harus maklum kalau suaminya sebagai pegawai Alloh swt itu (mubaligh) atau mujahid sering meninggalkannya, tak jarang pula terlambat pulang, karena memenuhi permintaan umat demi mencari muka kepada penguasa tertinggi, yaitu Alloh swt. Ia tak sempat berfirkir negatif, seperti ngomel, cemberut, mengeluh cemburu, jika suaminya pulang larut malam, karena dia telah pasrah sepenuhnya kepada Alloh swt.

Keberangkatan suami dilepas dengan senyum terindah, yaitu senyuman yang penuh dengan cinta dan keikhlasan, kedatangannya pun disambut dengan wajah ceria. Demikianlah gambaran wanita shalihah.

Memandangi suami dalam setiap siatuasi dan kondisi, menemaninya dalam riang dan gembira, menghibur dalam duka dan nestapa, menyenangkannya di saat sedih dan gelisah adalah merupakan kewajiban istri sebagai pendamping suami.

Jika seorang istri dapat berlaku terhadap suaminya seperti apa yang dipaparkan di atas, sehingga suaminya bertambah cinta dan sayang kepadanya dan merasa puas terhadap pelayanan istrinya, maka wajarlah dia memperoleh balasan yang setimpal.

Suatu hari, putra seorang sahabat Rasululloh saw, Abu Thalhah Ra terserang penyakit hingga meninggal dunia di pangkuan ibunya, yaitu Ummu Sulaim. Sementara Abu Thalhah sedang berada di luar rumah. Sang istri tidak segera memberi tahu Abu Thalhah tentang musibah yang baru dialaminya tersebut, karena dia tahu betul kalau suaminya tersebut amat sayangnya terhadap putranya itu dan mungkin akan merasakan kesedihan yang amat dalam bila mendengar putranya telah meninggal.

Ketika Abu Thalhah datang, Ummu Sulaim mendekatinya, kemudian menghidangkan makan malam buatannya. Abu Thalhah pun makan dan minum sepuasnya. Setelah itu Ummu Sulaim bersolek, hingga kelihatan lebih cantik dari hari-hari sebelumnya. Abu Thalhah sangat tertarik, lalu mengajaknya tidur bersama. Setelah selesai melakukannya, Ummu Sulaim mengajukan pertanyaan kepada Abu Thalhah, “Ya Aba Thalhah, bagaimana pendapatmu bila suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu kaum itu memintanya kembali pinjaman tersebut. Bolehkah keluarga tadi melarangnya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”

“Kalau begitu, relakanlah anakmu yang telah diminta kembali oleh yang punya, Alloh swt.” Sambung istrinya.

Mendengar kata-kata istrinya Abu Thalhah sangat marah, lalu berkata, “Engkau biarkan aku kotor (junub) seperti ini, baru setelah itu engkau beritahu tentang keadaan anakku?”

Esok harinya Abu Thalhah Ra mendatangi Rasululloh saw dan mengabarkan tentang peristiwa malam itu.

Mendengar hal itu, Rasululloh saw bersabda, “Semoga Alloh swt memberkahi malam kamu berdua.” Benarlah, Alloh swt mengabulkan do’a penutup para nabi dan rasul ini. Alloh swt mengaruniakan putra sebagai pengganti putranya yang telah meninggal dunia itu. Ternyata, bukan Cuma seorang putra, tetapi Alloh swt telah mengaruniakan sembilan putra yang kesemuanya dapat menghafal Al-Qur’an Al-Karim.

Inilah saripati dari kesabaran. Kesabaran dari kesadaran akan kewajiban seorang istri shalihah untuk senantiasa memenuhi hak-hak suaminya, untuk selalu taat dan untuk selalu dapat memberikan kebahagian dan kesenangan kepada suaminya, baik di saat gembira maupun duka.

Rasululloh saw bersabda:
“Tiap-tiap istri yang meninggal dan diridhai suaminya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Source: Majalah Gerimis
ummuhanin
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:

1. Mengenal Calon Pasangan Hidup

Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.

Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.

Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا

“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)

Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)


Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan

Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:

# Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

#Wanita itu subur rahimnya. 
Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ

“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)

# Wanita tersebut masih gadis 
[Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memperkenankan Jabir radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah radhiyallahu ‘anha], yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟

“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”

Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ

“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)


2. Nazhar (Melihat Calon Pasangan Hidup)

Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:

ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ

“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)

Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)

Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menasihatinya:

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ

“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.”

Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)

Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)

Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا

“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ

‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)

Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.

Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)

Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)

Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)


Batasan yang Boleh Dilihat dari Seorang Wanita

Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)

Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan [Faidah: Kisah Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menyingkap dua betis Ummu Kultsum bintu Ali bin Abi Thalib radhiyalllahu ‘anha yang hendak dinikahinya, adalah kisah yang dhaif (lemah), pada sanadnya ada irsal dan inqitha’ (Adh-Dha’ifah, ketika membahas hadits no. 1273)].

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)

Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama.

[Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:

1. Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.

2. Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.

3. Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.

4. Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.

5. Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.

PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”

Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”

Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)

Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:

6. Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.

7. Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)].


3. Khithbah (Peminangan)

Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.

Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ

“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR Al-Bukhari no. 5144)

Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ

“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”

Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)

Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)

Yang Perlu Diperhatikan oleh Wali

Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:

# Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa.
Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

# Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.

Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)


4. Akad Nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران:102)


يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)


5. Walimatul ‘Urs

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing.” (HR Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)

[Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR Al-Bukhari no. 5169).

Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:

مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ

“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)

Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)

Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)

Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendengarkannya. (HR Al-Bukhari no. 5148)

Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.

Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)


6. Setelah Akad

Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:

1. Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR Muslim no. 590).

2. Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

3. Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)

4. Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Sumber: Majalah Asy Syari’ah no. 39/IV/1429 H/2008 hlm. 15-22 & 27.